"Please take a tablespoon of the Tazkirah antibiotics per day"

"Please take a tablespoon of the Tazkirah antibiotics per day" ^_~ !!!

Tuesday, 28 June 2011

Allah sentiasa bersama kita





"...dan tidaklah diuji seseorang itu melainkan dengan kesanggupan..."

Satu ungkapan yang perlu sentiasa kita ingat bila diuji adalah kita bukan tuan dan kita juga bukan Tuhan.

Setiap kali diuji kita tidak berhak bertanya pada diri mahupun pada siapa sahaja kenapa kita dipilih untuk diuji. Hakikatnya itulah kehidupan. Tidak indah tanpa ujian. Ujian lah yang banyak mengajar kita erti kehidupan dan harus dijadijan pengajaran.

Ujian

Berbagai2 jenis ujian yg Allah datangkan untuk menguji keimanan dan kesabaran kita.

Kesihatan. Ada yang diuji dengan masalah kesihatan. Allah timpakan kepadanya dengan penyakit yang sukar diubati dan pesakit perlu sabar menahan kesakitan yg dialami.

Masalah kekeluargaan. Ibubapa sibuk terlalu mementingkan pekerjaan hingga lalai mendidik anak2. Pergaduhan suami isteri yang memberi kesan pada anak2 hingga menyebabkan penceraian,keruntuhan rumahtangga,anak-anak terbiar, perebutan harta dsb.

Persahabatan. Terjadi pergaduhan antara sahabat baik, tidak puas hati, menganiaya kawan,

Pembelajaran. Tidak score dalam peperiksaan walaupun sudah berusaha. Tidak mendapat tempat di IPT. Masalah kewangan untuk menyambung pengajian dsb.

Dan berbagai lagi tidak terkira banyaknya.

Apa yang harus dilakukan

Sudah menjadi lumrah alam bila diuji kita akan mencari Tuhan. Sedangkan yang bukan islam pun akan sebut "Oh my God" dan perkataan-perkataan lain yang merujuk kepada "Oh Tuhan". Sebagai umat Islam kita akan memohon petunjuk daripada Allah S.W.T setiap kali kita ditimpa musibah dan kesakitan kerana hanya Dia yang memahami hati kita, hanya Dia yang sentiasa ada tidak kira siapapun kita, dimana kita berada.

Ingatlah, kita bukan pemilik. Sampai waktu dan ketika kita mesti memulangkan kembali apa yang dipinjamkan sementara untuk kita. Allah jualah pemilik segala yang diciptakanNya. Terkadang kita merasa kitalah yang paling hebat diuji. Selepas satu ujian, menyusul pula ujian lain yang lebih berat. Sedangkan orang lain lagi berat diuji, bertimpa-timpa. Kenapa kita memikirkan kaki kita yang tidak berkasut sedangkan ramai lagi yang tidak berkaki? Fikirkan kembali dosa dan kesalahan yang pernah kita buat disebalik ujian yang ditimpakan untuk kita.

Kita perlu sentiasa bersyukur atas rahmat dan ujian yang diberikan Allah. Fikirkan hikmah yang diaturkan Allah disebalik ujian yang ditimpakan buat kita. Sentiasa memohon diberikan hati yang kuat untuk menghadapi ujian tersebut sbb kita bukan manusia yang sempurna yang dapat menempuhi ujian itu dengan cara yang paling tenang.

Berdo’a

"Ya Allah, dunia yang Engkau hamparkan ini indah, tetapi durinya sering menusuk. Nikmat yang Kau berikan takkan dapat untukku menghitungnya. Tetapi ya Allah, hambaMu ini sering alpa dan lena dek buaian mimpi yang tak sudah. Ya Allah, ujian yang Engkau berikan terasa begitu memeritkan, kadangkala ianya menguji kesabaran dan keimananku yang terkadang nipis, senipis kulit bawang. Ya Allah, jika ini ujian yang harus untukku lalui, bantulah aku. Agar aku tidak tersasar dari jalanMu. Agar aku bersyukur dengan ujianMu ini ya Allah"

Buat insan yang sedang diuji, bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama-sama kamu. Percayalah, Allah mendengar segala tangisan dan kesedihanmu itu. Ingatlah ujian Allah ini bukan satu penyiksaan, tetapi hakikatnya engkaulah insan yang terpilih. Bersyukurlah kerana diantara yang lain kita insan terpilih untuk diuji sedangkan orang lain langsung tidak tersenarai. Besarnya kasih sayang Allah pada kita. Engkaulah insan yang layak menerima rahmat dan keredhaanNya, sekiranya engkau sabar dan redha.

Wallahua’lam~

Monday, 27 June 2011

..:: Ya Mu'izzu A'izza Ummatana::..: Iman

..:: Ya Mu'izzu A'izza Ummatana::..: Iman: "Salamullahi'alaykum... Situasi di mana muslim hidup kini adalah situasi yang mengikis iman dan menumpulkan keiltizaman kita kepada Allah SW..."

Sunday, 26 June 2011

The Nature of Iman

We’re living in a time when secular humanism is on the rise and gaining ground even among people who would otherwise consider themselves to be religious. One of the implications of the rise of secular humanism is the wide spread misunderstanding that good deeds or virtuous behavior is something that is independent of faith and that there is no correlation that exists between the two. Unfortunately, we see many Muslims now being influenced by this notion as well. So we would like to spend sometime looking through some of the aspects related to the nature and characteristics of faith.

Islam and Iman

In the famous tradition of the Prophet which is known as Hadith of Jibreel (AS), Jibreel (AS) came to the Prophet in form of a person and asked him about Islam. The Prophet (SAW) replied:

Al-Islamu an tashhada alla ilaha illalahu wa anna muhammadar rasulullahi wa tuqeemas salata wa tu’tiyaz zakata wa tasooma ramadaana wa tahujjal bayta inistata’ta ilayhi sabeela

Islam is that you witness that there is no God but Allah and that Muhammad is the Messenger of Allah, and establish the prayer, and give the zakah, and fast Ramadan, and perform the Hajj of the House if you are able to take a way to it.

He then asked about Iman to which the Prophet (SAW) replied:

An tu’mina billahi wa malaaikatihi wa kutubihi wa rusulihi wal yawmil aakhiri wa tu’mina bil qadri khayrihi wa sharihi

That you believe in Allah, His angels, His scriptures, His messengers, and the Last Day and that you believe in Decree, the good of it and the bad of it.

Our scholars have mentioned that when Iman and Islam are mentioned separately, then they are synonymous. They both refer to the affirmation of the heart and the actions of the limbs. But when Islam and Iman are mentioned in the same context, Islam refers to actions and Iman refers to the affirmation of the heart. And this is in line with the tradition of the Prophet wherein while performing the janazah he used to say:

Allahumma man ahyaytahu minna fa ahyahu ‘alal islam wa man tawaffaytahu minna fataffahu ‘alal iman

O Allah, whomever of us you make to live, let him live in Islam and whomever of us you make to die, let him die in Iman.

Because deeds are done by the limbs, which one is only able to do while alive. Then at death, nothing remains but the heart’s affirmation.

Righteousness – An Islamic Definition

Now one may ask whether or not there is a correlation between faith and a person’s ability to do virtuous deeds. And as per the Quran and the Prophet (SAW), there is a very strong connection between the two. As Allah says in the verse commonly referred to as ‘Aayatul Birr’ or the ‘Verse of Righteousness’:

Laysa albirra an tuwalloo wujoohakum qibala almashriqi waalmaghribi walakinna albirra man amana biAllahi waalyawmi alakhiri waalmalaikati waalkitabi waalnnabiyyeena waata almala AAala hubbihi thawee alqurba waalyatama waalmasakeena waibna alssabeeli…

It is not righteousness that you turn your faces Towards east or West; but it is righteousness- to believe in Allah and the Last Day, and the Angels, and the Book, and the Messengers; to spend of your substance, out of love for Him, for your kin, for orphans, for the needy, for the wayfarer, for those who ask, and for the ransom of slaves; to be steadfast in prayer, and practice regular charity; to fulfill the contracts which ye have made; and to be firm and patient, in pain (or suffering) and adversity, and throughout all periods of panic. Such are the people of truth, the Allah fearing.

Also, Abu Hurairah (RA) has reported that the messenger of Allah (SAW) said:

Iman has sixty odd or seventy odd branches. The uppermost of all these is the Testimony of Faith: `La ilaha illallah’ (there is no true god except Allah) while the least of them is the removal of harmful object from the road. And shyness is a branch of Iman.

Implications of Our Faith

The question that is relevant to us is what should be the implication of our belief on our actions and our practices? How does our belief in Allah and on the Day of Judgment and His Messengers and His Books change our behavior and attitude in our lives? We should understand that these are not superficial manifestations of the religion; these form the foundations of our faith and they have a profound impact on how we perceive and go on to spend our lives in this world.

Take the example of the five daily prayers, which is one of the five pillars of Islam. So if a person is praying five times a day his prayer should be connected to certain ethical outcomes. When it is divorced from those outcomes, it means something is wrong with the prayer. So Allah says:

Innasalata tanha a’nil fahshai wal munkar.

Indeed the prayer wards off indecency and lewdness.

If we are praying regularly and yet we continue to be indecent and lewd people then something is wrong with our prayer. Similarly, our affirmation of the articles of faith should manifest itself in our actions and behavior. So when Allah (SWT) describes the characteristics of a person who rejects the belief in the Day of Judgment, what does He say:

Ara’aytal ladhi yukazzibu bid-deen…

Have you seen him who denies the Recompense? That is he who repulses the orphan (harshly). And urges not the feeding of al-Miskeen (the poor).

Building on Five Pillars & Articles of Faith

Our affirmation of the articles of faith should manifest itself in our actions and behavior and if they are not, then something is wrong in our understanding of the articles of faith.

Now the articles of faith that we mentioned, they form the foundation of our Iman and we know that a foundation has to have something built on top of it. Some of us never build anything on this foundation and because nothing is built on this foundation, when you look out over that particular Islamic landscape, you don’t see anything. If you only have a foundation of a house, you won’t see it from a distance. And we want something that can be seen. We want to build edifices whose beauty can be appreciated by people.

The same line of thought can be applied to Islam. When Rasulullah (SAW) said:

Buniyal Islamu ‘ala khams

Islam is built on five things

And he went on to describe the five pillars of Islam. These five pillars are absolutely indispensable to build Islam but as the hadith says Islam is built ON the five pillars. Some people think they got the five pillars so they could now stop. That’s the beginning. Now whether they are sufficient for paradise is a separate question. They may be sufficient for paradise but if we want to do things that we have to do in terms of manifesting Islam and letting people see its beauty in the society at a time when a lot of people are muddying it up. It’s just like we’re looking at a clear stream of water and then we notice these scoundrels with sticks who are stirring up the mud and muddying up the water. We need to do a lot of work to clear out the stream so it can flow and the beauty of the water and what’s in the water and what it reveals along its bed can be manifested.

Increase & Decrease in Iman

The nature of Iman is such that it does not stay constant and continues to change.

Al-Imanu yazidu wa yanqus

Iman increases and decreases.

Qalati alaAArabu amanna qul lam tuminoo walakin qooloo aslamna walamma yadkhuli aleemanu fee quloobikum wain tuteeAAoo Allaha warasoolahu la yalitkum min aAAmalikum shayan inna Allaha ghafoorun raheemun

The desert Arabs say, “We believe.” Say, “You have no faith; but you (only) say, ‘We have submitted our wills to Allah,’ For not yet has Faith entered your hearts. But if you obey Allah and His Messenger, He will not belittle any of your deeds: for Allah is Oft-Forgiving, Most Merciful.

Trials & Tribulations

Now when a person makes a claim of having faith, Allah (SWT) mentions that he tests that person to see whether that claim is true or not as Allah says in the Quran:

Walanabluwannakum bishayin mina alkhawfi waaljooAAi wanaqsin mina alamwali waalanfusi waalththamarati wabashshiris sabireen

Be sure we shall test you with something of fear and hunger, some loss in goods or lives or the fruits (of your toil), but give glad tidings to those who patiently persevere.

Ahasiba alnnasu an yutrakoo an yaqooloo amanna wahum la yuftanoon. Walaqad fatanna allatheena min qablihim falayaAAlamanna Allahu allatheena sadaqoo walayaAAlamanna alkathibeen.

Do men think that they will be left alone on saying, “We believe”, and that they will not be tested? We did test those before them, and Allah will certainly know those who are true from those who are false.

An instance of this is found in the tradition of Khabbab bin Arat (RA), which has been related by Bukhari. He says, “During the time when we had become sick of our persecution by the mushriks, one day I saw the Holy Prophet sitting in the shade of the wall of the Ka`bah. I went up to him and said, `O Messenger of Allah, don’t you pray for us!’ Hearing this his face became red and he said, `The believers who have gone before you had been subjected to even greater persecutions. Some one of them was made to sit in a ditch in the earth and was sawed into two pieces from head to foot. Someone’s joints were rubbed with iron combs so as to withhold him from the Faith. By God, this Mission will be accomplished and the time is not far when a person will travel without apprehension from San`a’ to Hadramaut and there will be none but Allah Whom he will fear.”

Another example of the trials afflicted at the scholars is that of the episode in history which is referred to as the Mihna which took place starting 218 A.H. It involved testing particular individuals concerning their view of whether the Qur’an is created or not. All parties agreed that the Qur’an is the unadulterated speech of God. The issue was whether the Qur’an is the created (al-Ma’mun’s position) or the uncreated speech of God. The response of the interrogees was not without consequences. Measures were taken against those who rejected the doctrine of the createdness of the Qur’an, including dismissal from public office, imprisonment, and even flogging. The Mihna was continued after al-Ma’mun’s death under his successors al-Mu’tasim and al-Wathiq, and was ended in 861 by al-Ma’mun’s nephew al-Mutawakkil.

Now just to clarify the issue from the outset may seem to be pretty trivial but its implications would have been grave because created things by their very nature are temporal and therefore mortal. When we consider Quran to be a creation of Allah, the natural implication of this is that the message of Quran will be considered to be applicable to only a specific period of time. And this could be used by the political authorities in power to manipulate the message of the Quran and its understanding.

Another of these examples is that of Imam Malik who lived in Medina. During the time when the Abbasids took over the khilafa from banu Umayyah, there was a generation of people who had taken an oath of allegiance with banu Umayyah but now banu Umayyah had technically been usurped by bani Abbas. And people were being forced to relinquish their baiyyah and to take baiyyah with the Abbasid khilafah. There was an issue in Imam Malik’s fiqh and which relates to the Mukrah, somebody who is forced. Imam Malik was of the opinion that anybody forced to divorce his wife, that divorce was invalid because he was not content about it and was forced to do it. So Imam Malik used to give fatwa for that. Now the rulers here realized that by analogical reasoning, people were saying this baiyyah was not really valid because we were forced to relinquish our first baiyyah. And so technically we still owe allegiance who we gave an oath of allegiance to before, which was banu Umayyah.

So the governor of Medina told Imam Malik threatening him not to give this fatwa. So the khalifa sent what they now call mukhaberaat, sent somebody into the majlis and he asked Imam Malik “what do you say about a person who is forced to divorce his wife. Imam Malik knew what was going on but he was a faqih and he feared Allah so he said it is not valid. They go report this to the authorities who then came and took Imam Malik and they beat him. And then they put him on a donkey to take him through the streets of Medina as a punishment and humiliation. And Imam Malik, while on the donkey was saying to the people:

Man ‘arafani faqad ‘arafani wa man lam ya’rifi fa ana Malik ibn Anas. talaaqal mukrah lagh’u

Those who know me know who I am and those who don’t know me I’m Malik ibn Anas and I say that forced divorce is invalid.

So he stood by his belief despite the fact that he was being beaten and threatened for doing that.

Another example of this was during the Mongol invasion. When the Mongol hoards swept through the heartlands of Islam, what did they leave in their wake? Pyramids of skulls; they razed some of the most beautiful cities of history, all the cities of Central Asia, Tashkent, Bukhara, Samarkand. Razed beautiful tiled buildings, gardens, libraries, depositories of some of the richest learning in human history. What happened in Baghdad, they say that the Tigris ran black with the ink flowing off the pages of the books that were dumped into Tigris. People being massacred left and right.

Imagine if you woke up after the Mongol hoards had swept through your village, everything is burnt, and everything is razed to the ground. You see a pile of skulls, one or two survivors and you have to stand up and get on with your life. They had the spiritual strength not only to do that, to get on with their lives with their dignity intact, not resulting to desperate measures and tactics and in two generations what happened? Those Mongol hoards converted to Islam. What kind of people do you think did that? They weren’t shallow people. They were people who had deep spiritual strength, they had patience, they had reliance on God, they had trust in God, and they had confidence in God’s wisdom. They had the ability to make the best of a bad situation; to continue to articulate their faith so those people who conquered them looked at them for a source of strength and guidance for themselves.

We pray to Allah that he strengthens our faith and protects us from all sorts of calamities and tribulations. We pray to Allah that under the current economic crisis, all those who have been affected to any extent, May Allah remove their difficulty and make them steadfast.

Wallahu'lam

Let's Cover Our Aurah




Salamullahi'alaykum

Sewaktu bersiar-siar di KLCC, Mid Valley, Times Square dan seribu satu pasaraya lagi, hampir setiap kali akan berjumpa dengan remaja Melayu yang tidak ada langsung ciri-ciri kemelayuan.

Sekali pandang persis Minah dan Mat Salleh. Rambutnya berwarna-warni, didandan pula dengan makeup beserta aksesori, ditambah pula dengan skirt singkat, memang serupa dengan orang kulit putih, cuma kulit mereka sahaja masih Melayu.

Kenapa ya? Kalau adapun remaja Melayu, jiwa dan pakaian mereka membuatkan seolah-olah saya sedang membeli belah di pasaraya ternama di New York atau Hong Kong. Hebat bukan?

Memang diakui, fesyen mampu mencipta satu suasana yang berbeza. Cuba bayangkan sebentar, kamu sekarang di Mid Valley dengan berjubah, dan hampir semua manusia di sekelilingmu berpakaian jeans ketat dan berskirt singkat, bukankah kamu akan gusar?

Mana tidaknya, apa yang kita fikirkan ialah apa yang orang lain fikirkan terhadap kita. Betul?

"Eh, Minah ni, pakai jubah pulak."

" x up-to-date langsung"

Dalam zaman yang serba canggih, hatta pakaian sekalipun mahu dicanggihkan (bukan jenama Canggih ye..^^). Hairanlah, entah dari mana pereka-pereka fesyen ini mendapat ilham.

Mereka mencipta pakaian dalam pelbagai versi, dedah belakang, tutup depan, dedah atas dan tutup bawah. Belubang sana sini. Semua kelihatan hebat di mata kita kerana ia adalah sesuatu yang lain dalam norma masyarakat kita. Bukankah anda suka kalau anda menjadi perhatian?

Kita dan Fesyen

Teringat sewaktu saya dan dua orang teman lama bertemu, kami berjalan2 disebuah pusat membeli belah. Saya dan Si A mahu membeli pakaian. Al-kisah, singgahlah kami di sebuah kedai pakaian di East Cost Mall, dan ketika membeli kemeja, saya memilih kemeja yang agak labuh manakala teman saya, si A memilih kemeja biasa. Lalu saya ditegur begini :

"Eh, kenapa labuh sangat?".

Saya tergamam. Kelu lidah seketika. Walhal sebenarnya akal saya mencari-cari idea untuk membalas soalannya yang bagi saya tidak perlu dijawab.

"Erm, memang aku suka jenis yang macam ini."

Sikap Umat Kita

Di zaman fesyen bohsia bohjan dijaja, akhlak hilang entah kemana, saya merasakan sesuatu telah hilang dalam diri kita. Sesuatu yang hilang itu yang pernah berlaku pada umat terdahulu; yang menyebabkan kita kehilangan zaman-zaman indah kegemilangan Tamadun Islam.

Apa yang Hilang?

Izzatul islam. Perasaan bangga dengan Islam. Umat kita sudah hilang perasaan bangga sebagai seorang Muslim. Mana tidaknya, kita sendiri yang merasa malu apabila berpakaian mengikut syariat, apabila tidak berhias, berdandan dan tidak mengikut trend fesyen. Berasa takut dianggap ketinggalan zaman.

Seolah-olah Muslim yang mengikut syariat tergolong dalam golongan yang terasing jika berpakaian menutup aurat kerana kebanyakan manusia berfesyen dengan fesyen dedah-dedah.

Ada satu lagi cerita. Harap siapa yang sudi membaca tidak jemu.

Suatu ketika handphone saya tiada kredit, then Ummi suruh saya call ayah atas urusan penting. Jadi saya buat keputusan utk telefon di public phone. Saya pun bersiap lah dan terus sambar tudung labuh yang disangkut belakang pintu bilik.

Sampai di public phone. Baru nak dail tiba2 ada 2 orang gadis Melayu lalu dibelakang dan kata:

"Hek eley minah ni,,kelam kabut pakai tudung labuh"

Saya pun jd terpinga2 lah. Apa hal diorang ni.Sudah la memang saya xkenal dan cakap mcmtu pulak. Astaghfirulla~ Btw, xpe.. then saya selesaikan urusan.

Nah! Lihatlah apa yg berlaku pada masyarakat kita. Masing2 mengaku Islam tapi tidak amalkan sedikit pun then nak ''condemn'' kita pulak.

Masing-masing sudah lupa, malaikat yang mencatat amalan kita di kiri dan kanan tidak pernah lupa untuk menulis amalan. Dan yang paling kita tak boleh lupa, Pencipta kita sentiasa memerhatikan kita. Maha Suci Allah dari sifat hamba-Nya yang pelupa. Dan memang perkataan "Al insan" itu bermaksud lupa. Kita sering lupa!

Padahal kita tahu menutup aurat penuh itu wajib. Cuma kita masih belum kuat untuk berubah. Kita tahu, memakai tudung perlu menutup dada, memakai baju jangan yang ketat-ketat dan nipis/jarang, apabila berhias biarlah berpada-pada. Ini semua undang2 Allah S.W.T dan sudah tentu tidak boleh diingkar. Sedangkan undang2 Manusia yg dilanggar pun dimarahi, ini pula undang2 Allah S.W.T nak diingkar.

Kekuatan untuk kita patuhi suruhan itu datangnya dari iman. Dan iman itu datangnya dengan keyakinan kita pada janji Allah. Mungkin kita sudah lupa mengapa Allah memberi arahan sedemikian?

"Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka atau bapa mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan; dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka; dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu berjaya." (An-Nur :31).

Maka saya membuat kesimpulan peribadi. Kebanyakan kita berpakai mengikut undang-undang budaya bukan syariat lagi. Kalau tidak, mana lahirnya golongan pakai jubah tapi tak bertudung, apabila bertudung pula, baju hampir-hampir tanpa lengan, kain pula terbelah depan belakang?

Kalau lelaki pula, seluar ketat-ketat, seluar singkat-singkat. Mungkin begini, lahir-lahir ibu bapa pakai begitu, maka anak-anak juga mengikut apa yang dipakai ibu bapa. Kita pakai ikut budaya tanpa tahu dalilnya?

Saya akui ada juga dikalangan sahabat2 dari sekolah agama mempunyai halangan berpakaian sempurna mengikut syari'at kerana ahli keluarga mereka juga begitu. Takut dipandang lekeh oleh ahli keluarga. Betul x? Inilah yg dikatakan cabaran yang Allah beri, Allah nak uji adakah kita berani berhadapan dengan situasi sebegitu @ kita "just follow the flow" je.

Prejudis Terhadap Umat Sendiri

Hairanlah, mengapa umat Islam lewat zaman ini bersikap prejudis terhadap saudara sendiri? Mengapa apabila ada yang cuba-cuba "berhijrah" ke arah yang lebih baik, akan ada nada-nada sumbang di belakang yang memandang serong?

Bukannya mahu diambil yang jernih dibuang yang keruh. Apatah lagi memberi sokongan, tapi ia dipulaukan pula semata-mata kerana mentaati perintah Allah. Astaghfirullah~

Sabda Nabi Junjungan

Daripada Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasululah saw.

"Islam mula tersebar dalam keadaan dagang (asing). Dan ia akan kembali asing pula. Maka beruntunglah orang orang yang asing." -H.R. Muslim

Lihatlah saudaraku, Islam kembali asing di akhir zaman ini dan dirasa ganjil dari pandangan dunia, bahkan pada pandangan orang Islam sendiri. Kita sendiri yang merasa ganjil dan pelik tatkala melihat orang Islam yang iltizam dengan Islam dan cuba mengamalkan tuntutan Islam yang sebenar.

Seorang yang iltizam dengan Islam dipandang sepi oleh masyarakat dan terlalu susah untuk diterima sebagai individu yang normal di kalangan mereka.

Dan begitulah seterusnya nasib lslam di akhir zaman. Ia akan terasing dan tersisih dari masyarakat, bahkan tersisih dari pandangan orang Islam sendiri yang mengaku sebagai umat Islam dan marah apabila dikatakan yang dia bukan orang Islam.

Daripada Anas r.a. bekata, Rasulullah saw. bersabda, "

Akan datang kepada umat ku suatu zaman di mana orang yang berpegang kepada agamanya laksana menggenggam bara api." H.R. Tirmizi

Di zaman yang sangat mencabar ini, sesiapa yang hendak mengamalkan ajaran Islam terpaksa menghadapi kesusahan dan tentangan yang sangat hebat. Kalau tidak bersungguh-sungguh, nescaya Islam terlepas dari genggamannya.

Kerana apa? Kerana umat Islam sendiri tidak membantu untuk dia menunaikan kewajipan agamanya, bahkan apa yang ada disekelilingnya mendorong untuk membuat kemaksiatan dan perkara-perkara yang dapat meruntuhkan aqidah dan keimanan atau paling kurang menyebabkan kefasiqan. Jadi kesimpulannya, orang Islam tersepit dalam melaksanakan tuntutan agamanya di samping tidak mendapat kemudahan.

Lecehnya Islam

Ada yang mempersoalkan, kenapalah perempuan diperintahkan menutup aurat hampir keseluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan? Kenapa lelaki tidak?

Jawapannya mudah. Kerana yang Allah perintahkan untuk kita tutup itu adalah yang indah-indah belaka. Tanpa perlu lagi dikiaskan dengan analogi palsu yang sudah dihadam oleh kita (analogi permata dalam bungkusan), kita pasti faham. Buktikan pada saya, dimana perempuan tidak cantik?

Tiada.

Tapi lelaki, diberatkan pula dengan amanah dan tanggungjawab. Menjadi lelaki bagi saya umpama bakal memikul sebeban gunung. Mana tidaknya, kalau sudah berkahwin, keluarga sendiri perlu dijaga, ibu dan ayah perlu diutama, anak isteri juga dipikul dosa, nafkah pula perlu diusaha, bukankah itu amanah besar dari Tuhan?

Menulis ikhlas dari hati. Untuk kakak, adik, ibu, ayah, abang, kawan, teman, dan Muslim semuanya. Semua ini tanda kasih dan sayang bersama. Kerana syurga dicipta untuk semua hambanya. Sungguh, syurga itu mahal nilainya, dan jalan menujunya tidak semudah yang kita sangka. Maka, bersama2lah kita berubah dari sekarang.

Yang lebih menakutkan apabila direnungi hadis Nabi di bawah :

Daripada Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda : "Ada dua golongan yang akan menjadi penghuni Neraka yang belum lagi aku melihat mereka. Pertama, golongan (penguasa) yang mempunyai cemeti-cemeti bagaikan ekor lembu yang digunakan untuk memukul orang. Kedua, perempuan yang berpakaian tetapi bertelanjang, berlenggang lenggok waktu berjalan, menghayun-hayunkan bahu. Kepala mereka (sanggul di atas kepala mereka) bagaikan bonggol (goh) unta yang senget. Kedua-dua golongan ini tidak akan masuk syurga dan tidak akan dapat mencium bau wanginya. Sesungguhnya bau wangi syurga itu sudah tercium dari perjalanan yang sangat jauh daripadanya".

Pasti kita tidak mahu tersenarai dlm golongan diatas betul? Na'dzubillah~

Marilah kita sama-sama berubah menuju ke jalan-Nya.

Wallahu'alam~

Saturday, 25 June 2011

Cerpen : Kau Harus Ada...


“Awak, bangun awak.”
Suara itu menembusi kegelapan. Menarik aku dari kelamnya lena. Perlahan-lahan kubuka mata. Cahaya masuk, dan siling menjadi persembahan pertama.

“Urgh,” Aku mengesat mata, yang kurasa masih tidak hilang kantuknya. Terpisat-pisat. Berkelip beberapa kali.

“Mengantuk lagi?” Suara lembut itu menyapa lagi.

Aku menggeleng. Kemudian perlahan-lahan menumpukan pandanganku kepada yang bersuara.

Dia sedang memandangku dengan perihatin. Dan tiadalah wajahnya itu, melainkan menjemput senyuman hadir pada bibirku.

“Alhamdulillah,” Aku mengucap perlahan. Benar-benar rasa bersyukur dihidupkan. Dan amat bersyukur kerana Allah mewujudkan dia di sisi.
Dia turut tersenyum mekar.

“Ada setengah jam lagi sebelum Subuh. Sempatlah kalau nak qiamullail.” Telapak tangannya menyentuh pipiku. Aku mengangguk faham. Kemudian dia perlahan-lahan turun dari katil.

Aku menolak katil untuk menukar posisi, dari berbaring kepada duduk bersila. Sekadar memandang dia yang berjalan menjauhi katil, kemudian menghilang di balik bilik air.
Senyumanku belum pudar.

Puas hati bangunku hari ini. Seperti juga hari-hari sebelumnya semenjak wujudnya dia. Hatiku lapang. Jiwaku kembang. Bahagia. Dan bahagia ini, sukar sungguh untuk terluput, semenjak hadirnya dia.

Sebentar aku jadi teringat hari-hari lalu. Hari-hari yang sunyi itu. Hari-hari yang perit itu. Hari-hari yang penuh derita dan disulami pelbagai cabaran yang menduga. Bukanlah kini semua itu telah pergi. Tetapi seakan-akan semuanya menjadi ringan dan aku menjadi lebih kuat untuk menempuhnya.

Aku menunduk dengan senyumanku, menggeleng sendiri.
Benar sangkaanku, dia harus ada.

“Alhamdulillah ya Rabb, Alhamdulillah.” Dan syukurku bukan sekadar kata. Segera aku bangun, menuju ke bilik air di luar kamar. Membersihkan diri, siap mengambil peluang qiam yang masih berbaki. Biar syukurku wujud dalam amalan juga.

******
Suasana halaman yang indah mengisi keadaan. Angin pagi sepoi-sepoi bahasa dengan hawa yang sederhana membuatkan diri terasa damai. Antara kegemaran kami berdua, sarapan di halaman rumah kala hening pagi sebelum aku pergi mencari rezeki.

“Apa senyum-senyum?” Tiba-tiba suaranya mengoyak lamunanku.
Aku mengangkat kening. Tanda tanya. Tak faham mengapa aku ditanya.

“Ya la, ada apa-apa ke? Atau muka saya ada masalah?” Dia mengesat pipi dengan belakang tangan yang sedang memegang garfu.

Aku tertawa.

“Mana ada apa-apa pada muka awak. Saya sahaja nak senyum. Tak boleh?”

Dia tersenyum sama.
“Senyum tak mengapa. Tapi senyum sambil tenung saya lama-lama tu yang buat saya tertanya-tanya. Tak sedap ke Mee Goreng saya masak?”

The Best in The World. Sama level dengan Ummi dan Ibu masak.”

“Habis tu, senyum-senyum kenapa?”
Aku dengan senyuman yang tidak lekang, menggeleng senang.

“Senyum, sebab awak ada di hadapan saya, sarapan dengan saya.”
Spontan wajahnya merah. “Hish, ingatkan apa tadi.” Terus dia kembali menumpukan perhatian kepada Mee Goreng di atas pinggan.

Aku juga menyambung makan. Sengaja mengekspresikan rasa hati. Kerna aku memang benar-benar rasa beruntung dengan keberadaannya di sisi. Aku tidak dapat membayangkan betapa aku sedang melalui hari-hari ini. Hari yang aku fikir tidak akan tiba buat diri.

“Awak, sibuk tak hujung minggu ni?” Soalan itu muncul saat aku selesai dengan suapan terakhir.

“Kenapa?” Garfu dan sudu kuletakkan saling menyebelah di tengah pinggan yang licin.

“Sibuk tak?” Dia mengerutkan dahinya sedikit. Seakan hendak kujawab juga jawapannya.

“Kalau sibuk kenapa?”

“Kalau sibuk, saya tak nak lah cakap.” Dia menundukkan wajahnya, sambil garfu menolak masuk baki mee goreng ke dalam sudu, kemudian terus membawanya ke dalam mulut.

“Kalau macam itu, tak sibuklah.” Aku mengesat kawasan sekitar mulut dengan tisu, sambil kekal tersenyum. Wajahnya tidak kulepaskan. Walaupun mungkin matahari naik yang boleh kuperhatikan ketika ini indah. Kerna padaku, tiada makhluk ciptaan Allah yang lebih indah dari apa yang ada di hadapanku kini.

Dia mencemikkan muka, sambil meletakkan sudu dan garfu di atas pinggan .

“Saya tak nak sampai ganggu schedule awaklah. Saya tahulah awak sibuk.”

Aku menggeleng. “I’ll manage. Apa yang awak nak cakap sebenarnya?”

“Er…” Teragak-agak. “Keluar jalan-jalan jom?” Wajahnya seakan amat berhati-hati bila melafazkan soalan.

Tawaku muncul lagi. Geli hati melihat wajahnya. Dan tersentuh dengan ajakannya. Aku faham maksud ajakan itu.

“Ada kerja sebenarnya…”
Wajah cerianya hilang sebentar. Aku sudah agak.

“…Tetapi i’ll try to finish it before this weekend. So that we can go jalan-jalan. Dan…” Aku tepat memandangnya. Masih tidak melepaskannya. Dapat melihat yang dia sudah mula hendak tersenyum, tetapi berusaha menahannya.

“Dan…?” Senyumannya seakan terpecah sedikit, tetapi masih mencuba.

“Dan katalah kerja tak habis juga, still, kita akan keluar pergi jalan-jalan juga. Saya tahu, awak nak suruh saya sekali-sekala ambil angin kan?”

“Ha, tahu pun. Asyik kuat kerja sahaja. Kesian saya tengok.” Senyuman kembali menawan wajahnya.

Aku menggeleng senang melihat ulahnya. Aku tahu dia mengajakku berjalan itu bukan kerana dia yang inginkan. Tetapi kerana aku sibuk dengan timbunan kerja dan projek, hingga hampir tidak punya masa merehatkan tubuh dan minda ke mana-mana.

Aku bangun. Perlu segera untuk ke tempat kerja.

I’ll pick the place, boleh?” Pertanyaannya menyelit sebelum aku berdiri sempurna.

“Baik sayang. Saya setuju. You pick the place, okay?”

Dia mengangguk perlahan.

Segera kujinjit briefcase di tepi kerusi kayu tempat dudukku, kemudian perlahan-lahan bergerak ke arah kereta yang enjinnya telah siap kuhidupkan sebelum sarapan tadi. Aku memang telah siap dengan pakaian kerja setiap kali bersarapan pada hari-hari biasa. Memudahkan pergerakan dan menjimatkan masa.

“Awak,” Suaranya kedengaran, membuatkan aku menoleh.

Segera dicapainya tanganku, dan menundukkan kepala menciumnya.
Kembang jiwa. Perasaan ini, setiap kali hendak bekerja, seakan-akan pembekal kekuatan yang berganda-ganda. Subhanallah. Sungguh, aku amat-amat menghargai perasaan ini. Kalaulah perasaan ini satu makhluk yang boleh kupegang, pasti kusimpan di dalam balang. Kalaulah perasaan ini sesuatu yang boleh dipandang, sudah pasti kurakam biar boleh selalu diulang tayang.

Take care. Jumpa nanti petang.” Aku menyentuh pipinya lembut dengan telapak tanganku.

“InsyaAllah, awak take care juga.” Matanya mendamai jiwa.

“InsyaAllah.” Sambil masuk ke kereta.

Dengan lafaz bismillah, aku memutarkan stereng dan menekan pedal minyak, menggerakkan keretaku separuh bulatan mengikut ruang yang ada di hadapan rumahku, sebelum bergerak lurus keluar dari halaman rumah.
Sempat aku melihat cermin pandang belakang.
Dia melambai.

Aku tersenyum senang.

******

Bunyi alat penghawa dingin ruang tamu menyulam suaraku membaca Al-Quran. Sambil bersandar pada sofa, tidak jauh dari tempat solatku tadi, aku memegang Al-Quran sederhana besar dengan tangan kanan.

Senggang masa antara Maghrib dan Isya’, kuisi dengan rutinan harian. 10 muka surat paling kurang, sehari. Itu aku disiplinkan buat diri ini. Antara makanan jiwa yang baik adalah Kalamullah sendiri. Membaca Al-Quran, sambil mentadabburnya, akan membuatkan jiwa dekat dengan Allah SWT dan menyedari kebesaranNya, keberadaanNya, kasih sayangNya, dan kecintaanNya.

Tambahan, aku perlu menjaga seseorang sekarang. Bukan semata-mata diriku lagi. Maka Al-Quran adalah antara sumber tenaga wajib yang mesti aku ambil untuk mengisi kekuatanku setiap hari.

Perlahan-lahan, sambil mulut masih mengalunkan Surah At-Taubah kegemaranku, mataku melirik ke arah dia yang khusyuk membaca Al-Quran di tempat solatnya tadi.
Tiba-tiba dia bangun, bergerak mendekatiku, kemudian duduk di hadapanku.

“Awak, tasmi’ bacaan saya, boleh?” Sambil dia menghulurkan mushafnya kepadaku.
Aku melihat wajahnya, kemudian merayap kepada Al-Quran yang disuakan.
Hatiku kembang. Ini bukan pertama kali, tetapi setiap kali ini berulang, aku rasa lapang. Senang. Ketika itu juga senyumanku muncul.

“Awak ni, sikit-sikit senyum sahaja. Dari awal kahwin macam itu.” Dia mengerutkan dahi sedikit.

Senyumanku melebar. Sebelah tangan menutup mushaf yang ada padaku, sambil sebelah lagi menyambut Al-Quran di tangannya.

“Senang hati, kita senyumlah.” Aku menjawab dengan senyuman yang masih berbunga.


“Ya? Ke awak ada nampak apa-apa yang tak kena pada saya? Dari awal-awal lagi saya sebenarnya tertanya-tanya.” Dia berwajah penuh persoalan. Senyuman pada bibirnya beriak mencungkil jawapan.

Itu hanya membuatkan senyumanku memekar.

“Saya senyum, sebab saya nampak awak ada depan saya la.”

“Itu jawapan ke?”

“Ha, sekarang ni nak cungkil rahsia, atau nak saya tasmi’ hafazan awak?”

“Yalah, dia tak nak kongsi dengan kita. Simpanlah rahsia awak tu. Ha, tasmi’ ya? Hafazan plus tajwid sekali tau. Check betul-betul.” Dia mendekatkan diri

“Baik, sayang.”

Suaranya mengambil alih ruang, bersulaman dengan bunyi penghawa dingin. Surah An-Nisa’ kedengaran menggetarkan gegendang telinga.

Aku menikmatinya. Dan rasa nikmat mendengar suara orang yang tercinta mengalunkan ayat-ayat Allah SWT itu membuatkan aku menutup mataku. Tidak menjadi masalah untuk memeriksa apa yang dibaca, memandangkan aku juga menghafalnya.
Sekali-sekala dia tersilap ayat, aku menegurnya. Adakala tajwidnya kurang tepat, aku membetulkannya.

Suasana ini, menyenangkan. Suasana ini, membahagiakan. Suasana ini, amat mengasyikkan.

Hinggalah dia menamatkan bacaannya. Aku membuka mataku semula. Memandang dia di hadapanku. Kalau bukan kerana aku tahu aku masih di dunia, aku sudah berkata bahawa aku sedang berada di dalam syurga.

“MasyaAllah,” Aku memuji Allah SWT. Apakah yang lebih indah dari yang aku sedang lalui ini?

“Banyak salahlah.” Dia bernada seperti kurang berpuas hati, sebelah tangan menggaru kepalanya yang aku yakin tidaklah gatal, sambil sebelah lagi mengambil semula mushafnya.

Still good lah. Boleh baiki dari masa ke semasa, insyaAllah.”

“Takut awak bosan tasmi’ saya selalu. Banyak salah, mesti bosan.”
Aku menggeleng. “Mana ada. Mana boleh bosan? Hidup kat dunia sekejap sahaja, kalau saya bosan dengan awak, habislah.”

“Kenapa? Apa kaitan dengan duduk dekat dunia?” Wajahnya kehairanan.

“Yalah. Sebab saya nak awak duduk dengan saya di syurga. Syurga selama-lamanya. Kalau di dunia yang sementara lagi sekejap ini saya dah bosan dengan awak, macam mana saya nak hidup selama-lamanya dengan awak di syurga?”

Ketika itu juga tawa kecilnya pecah. Tawanya kedengaran tulus muncul dari hati yang teramat senang. Segera diangkat tangannya yang tidak memegang mushaf untuk menutup sebahagian mulutnya. Adab orang yang ketawa agar nampak sopan.
Dan aku amat senang melihat kesenangannya. Ya Allah, kekalkanlah yang ini.

“Untunglah saya dapat suami macam awak.” Tangannya yang menutup mulut itu bergerak menepuk bahuku.

Aku menundukkan kepala sambil terus tersenyum. Tak berkata apa-apa. Tetapi di dalam hati, aku berbicara sendiri: “Saya yang untung, dapat isteri macam awak.”

“Awak,”

Aku mengangkat kepala memandangnya semula. Senyuman kini menggantikan tawanya tadi.

“Terima kasih sebab sudi tasmi’ saya.” Lembut dia bersuara.

“Sama-sama kasih. Esok, awak tasmi’ saya pula ya?” Aku angkat kening sebelah, seakan menggesanya berjanji.

Dia tersenyum, mengangguk. “Promise.”

Senyumanku jadi tidak pudar. Puas hati. Dengan nikmat tidak terhingga yang Allah berikan ini.

Dia harus ada.

Semestinya.

******
Aku memandang skrin 43 inci desktopku yang melekat pada dinding. Pelbagai kertas kerja tersusun di atas meja. Jari jemari mengetuk irama yang tidak berseni. Sepenuh tumpuan kukerah. Minda kuperah.

Come on, come on. Di dalam hati aku menggesa biar idea berbuah.
Aku adalah seorang CEO. CEO kepada syarikatku sendiri. Syarikat Awan Keimanan Sdn Bhd. Walaupun usiaku baru sahaja menjejak 23 tahun, Syarikat Awan Keimanan Sdn Bhd telah menjadi antara syarikat yang terkenal di Malaysia.
Menjejak umur 18 tahun, aku memulakan satu projek penulisan di alam maya. Lama-kelamaan, penulisanku diikuti ramai. Hingga akhirnya, ada syarikat penerbitan yang singgah dan menawarkan aku menjadi penulis. Dari situ, lebih ramai orang mula mengenaliku.

Aku tidak menerima semua itu begitu sahaja. Aku yang sememangnya bercita-cita besar semenjak kecil, melihat bahawa itu adalah peluang yang Allah SWT supaya aku bergerak lebih jauh lagi dalam menyebar luas agamaNya. Maka terus aku merangka sebuah rancangan.

Aku terus merangka satu projek jangka panjang. Cita-citaku adalah, aku mahu mempunyai sebuah syarikat yang besar, yang menguruskan hal-hal konsultansi, memprodus majalah islami, novel-novel islami, buku-buku motivasi islami, komik-komik islami, sekaligus merekrut penulis-penulis dan pelukis-pelukis yang mempunyai syakhsiah serta kefahaman islami. Tidak cukup dengan itu, kurangka juga agar syarikat itu mampu mempunyai kumpulan nasyid sendiri. Dan untuk satu jangka masa yang lebih panjang, aku yang ketika itu baru berusia pertengahan 18 tahun telah merangka agar semua penulis dan pelukis, termasuk penasyid di bawah syarikat itu, akan mampu menjadi ikon masyarakat, sekaligus menjadi fasilitator dalam program-program motivasi yang dijalankan syarikat.

Aku masih ingat, sekumpulan besar manusia mentertawakan aku tatkala aku meluahkan idea ini. Semuanya berkata bahawa ini adalah mimpi. Tambahan, ketika itu usiaku belum pun memasuki 20-an. Belum lagi menggerakkan semua itu, aku sudah mula mendapat tohmahan seperti berlagak, ego, dan sebagainya kerana dikatakan lemas dalam populariti sendiri.

Aku tidak berputus asa. Tetap berusaha menjadikan semuanya realiti yang berjalan di atas dunia. Akhirnya, pada awal umurku 19 tahun, aku berjaya mengumpulkan sekumpulan manusia untuk bergerak bersamaku. Mereka ini kugelar ‘sahabat’. Bersama mereka, aku bergerak dengan lebih efisyen, proaktif.

Mengharungi semua itu dalam keadaan aku merentas perjalanan sebagai seorang pelajar di universiti bukanlah sesuatu perkara yang mudah. Tambahan aku belajar di luar negara. Saat rakan-rakan sebayaku sibuk dengan pelbagai ‘kenakalan remaja’, aku korbankan semua itu untuk fokus pada projekku ini. Saat rakan-rakan sebayaku sibuk bercakaran isu persatuan pelajar di tempat belajarku, aku sibukkan diriku pada projekku ini. Saat rakan-rakan sebayaku rakus merantau negara-negara berdekatan tempat belajarku, aku menghabiskan cutiku menyusun atur semua projekku.

Ketika itulah dugaan demi dugaan tiba. Cabaran yang banyaknya tidak terbilang. Aku mula melihat wajah sebenar kehidupan yang hakikatnya tidak senang. Beberapa kali usahaku seakan berhadapan kegagalan. Belum dikira waktu-waktu aku dicemuh dengan pelbagai tohmahan. Ujian demi ujian. Masalah pula bukan di sekitar projekku semata-mata, bahkan di sekitar kehidupan pelajar luar negaraku jua. Ada masalah dengan ahli rumah, ada masalah untuk studi dengan baik, kadangkala ada masalah kesihatan, dan belum lagi dibilang pula masalah-masalah mengekalkan hubungan baik dengan Tuhan.
Aku menempuh semuanya sendirian.

Aku punya beberapa sahabat karib, tetapi mereka tidak mampu menjadi peringan kekal buat kehidupanku. Allah izin, mereka bukan rakan serumahku, dan bukan juga rakan seuniversitiku. Sahabat-sahabatku ini, hanya kadangkala sahaja mampu menziarahiku, meluang masa bersamaku. Saat bersama mereka, aku kuat. Semasa berjauhan daripada mereka, aku sedikit lemah.

Yalah, aku bukannya malaikat.

Dan pernah, saat ujian-ujian berat menimpa dan aku tidak tertahan dengannya, aku menangis sendirian. Derita itu tidak akan pernah kulupakan.
Tidak akan sesekali aku melupakan.

“Ya Allah, idea, idea.” Aku melekapkan dahi ke atas meja. Dahi menyentuh kertas kerja. Baru aku perasan aku telah jauh mengelamun. Teringat pula betapa terseksanya hidup pada saat itu semua.

Tiba-tiba aku terasa rambutku diramas.

“Kuatnya dia kerja.” Dan suara lembut itu membuatkan aku mengangkat kepala semula, dan terus mendongak ke arah dia yang kini berada di sisiku. Senyumannya menghiasi tubir pandanganku.

“Kopi Radix?” Dia menghulurkan cawan dengan tangan kanan, sambil tangan kirinya kekal di rambutku.

Aku yang tadinya berkerut dahi menanti idea menghadirkan diri, ditambah dengan kenangan-kenangan pahit, tersenyum senang. Kusambut cawan itu dengan cermat, perlahan-lahan menghirupnya.

Ya Allah, seakan bebanan tadi terangkat begitu sahaja. Seakan-akan keperitan lalu itu langsung tidak pernah wujud.

“Projek baru?” Dia menyoal. Kini dia berada di belakang kerusiku. Dapat kurasa nafasnya menyentuh leherku. Walaupun mataku kini tertumpu pada skrin, aku dapat mengagak bahawa dia juga sedang memandang perkara yang sama. Aku mengangguk, sambil nescafe sekali lagi kuhirup.

“Awak ni, dari dulu lagi buat benda macam ini ya?”

“Em. Tapi dulu taklah se’havoc’ macam ini. Dulu kecil-kecilan sahaja. Sekarang betul-betul terjun jadi mainstream. Studi dah habis. So, benda ni la yang saya fokuskan habis-habisan.” Aku memberitahu.

“Yalah, siapa sangka awak boleh sampai macam hari ini. Tapi mesti ada bayarannya kan untuk capai apa yang awak capai hari ini?”

Aku mengangguk lagi. Kata-katanya membuatkan aku teringat kenanganku tadi. Baru sahaja teringat.

Kini, semua yang aku rangka itu telah menjadi realiti. Bahkan, dengan izin Allah SWT, semua itu menjadi realiti sebelum waktu yang aku jangkakan. Ada beberapa perkara tidak terjangka berlaku, mempermudahkan perjalananku. Walaupun selama ini menguruskannya di luar negara, tetapi sahabat-sahabatku yang bersama dalam projek ini menggerakkannya dengan penuh komited. Hingga apabila aku pulang, aku seakan-akan pulang untuk menuai hasilnya.

Sekarang aku tidak lagi menulis di bawah syarikat orang lain. Aku menulis di bawah syarikatku sendiri. Syarikatku menjadi penerbit buku-buku motivasi islami, novel-novel islami, komik-komik islami dan juga majalah islami. Penulis-penulis dan pelukis syarikatku terdiri daripada mereka yang amat berbakat, dan mempunyai satu matlamat yang sama denganku – ingin membawa manusia kembali menjadi hamba Allah SWT. Dan mereka ini telah menjalani kursus di bawah syarikatku, agar idea mereka lebih dinamik, terkehadapan, dan tidak sama seperti penulis kebanyakan. Wujud tamayyuz yang tersendiri, agar terbina satu arus yang amat kukuh tanpa mampu ditandingi.

Juga, kami baru sahaja mendapat kumpulan nasyid kami sendiri. Firwan namanya. Merupakan junior-junior sekolah menengahku. Mendengar pembentanganku, mereka berminat untuk menjadi kumpulan nasyid di bawah syarikatku. Kini mereka sedang meningkat naik dan diterima ramai.

Program-program motivasi di bawah syarikatku turut mendapat sambutan hangat. Aku juga telah berjaya menubuhkan Kelab Awan Keimanan, yang mempunyai ahli dalam bilangan melebihi ribuan. Angka-angka visitors di laman mayaku selama ini telah berjaya direalitikan.

Kini, aku sedang merangka projek untuk meluaskan lagi syarikatku agar mampu menembusi medan baru. Mereka filem, drama, dan animasi islami. Untuk benar-benar membumikan satu rangkaian bisnes yang didominasi oleh manusia-manusia yang mempunyai fikrah islami. Sekaligus, menyebar luas amanah Allah, dan mengislah manusia-manusia di atas muka bumi.

“Semuanya dengan izin Allah SWT. Dengan doa-doa awak juga.” Aku cuba memandangnya, tetapi leherku tidak sampai. Dia perlahan-lahan memanjangkan lehernya, biar kepalanya di sisiku. Kemudian wajah kami bertentangan, dan dia tersenyum kepadaku.

“Kita baru jumpa tahun lepas ya. Sejak bila pula doa saya boleh masuk dalam saham ni?” Dia tertawa.

Aiseh. Kantoi terlebih gula.

Ya. Kami baru bertemu. Sedang sebelum ini tidak berkenalan pun.

“Tapi still, awak ada saham juga dalam semua ini.”

Senyumanku terukir juga. Teringat lagi satu peristiwa, sambil wajahku kembali menghadap skrin.Aku menghela nafas. Ketika ini aku rasa lapang yang teramat, dan kepalaku menjadi ringan. Tiba-tiba aku seakan terlihat sesuatu. Seakan-akan penghadang yang menyekat telah terangkat. Idea tiba!

“Ha, dapat idea la tu.” Dia bersuara. Mungkin melihat reaksiku yang segera. Tetapi aku tidak sempat hendak menjawabnya. Takut ideaku hilang begitu sahaja. Segera kuletakkan cawan di atas meja. Terus menekan-nekan papan kekunci, menaip idea-idea yang baru hadir daripada Ilahi.

“Alhamdulillah.” Aku melarikan cursor pada ikon disket biru. Bila selesai semuanya, dan melakukan pemeriksaan semula agar pasti yang projek tadi sudah tersimpan kemas, aku memusingkan kerusi.
Aku dapat melihat wajahnya yang dihiasi senyuman.

“Terima kasih, awak.”

“Hihi, apalah yang nak diterima kasihkannya kepada saya ni? Saya buat kopi Radix je pun.”

“Terima kasih sebab awak ada di sisi saya.”

“Ala, kut la sumbangkan idea ke, baru nampak macam saya ni berhak kepada terima kasih itu.”

Aku diam dan tidak lagi menyambung kata. Hanya senyumanku sahaja yang kekal pada muka. Aku tahu, kalau aku berbicara lagi, dia hanya tidak akan mengalah untuk merendahkan diri. Di dalam hati, aku berbicara sendiri: “Tapi betul, Allah berikan idea itu bila saya teringat sesuatu yang berkaitan dengan awak.”

“So, esok jadi ya?” Tiba-tiba dia bertanya, keluar dari topik ketika.

“Jalan-jalan?” Aku meneka. Sebab esok memang harinya.

“Em.” Dia mengangguk.

“InsyaAllah. Kerja dah selesai. Betul-betul free. Awak dah pilih tempat? Di mana?”

“Aaaaa, rahsia. Esok, awak ikut sahaja. Saya drive.” Dia mengenyitkan sebelah mata.

Tawa kecilku muncul melihat ulahnya. Macam-macam.

******

Unexpected.” Terlafaz keluar daripada bibirku.

Angin mendodoi damai tubuh. Dia yang setia di sisi memaut lenganku. Bunyi ombak menghiasi suasana.

“Ummi kata, awak dulu masa kecil-kecil paling suka pergi sini. Tapi lepas pindah, Ummi dan Abah tak pernah sempat bawa awak datang sini lagi. Kemudian awak besar, masuk asrama, Ummi Abah sibuk, tambah lepas itu awak pergi overseas, then awak sibuk dengan projek itu ini, sampailah sekalipun awak tak pernah dapat datang sini.”

Ini tempat di mana Abah selalu membawaku sewaktu kecilku dahulu. Dengan motor bujangnya, Abah akan membawaku mengambil angin di pantai ini dahulu. Keadaan di sini walaupun sudah berubah banyak, tetapi masih terdapat beberapa petanda bahawa inilah tempat yang menyimpan kenangan, sebelum aku membesar menjadi aku.

“Eh, awak tak suka ke?” Tiba-tiba pertanyaan itu menyentuh gegendangku. Membuatkan aku menoleh ke arahnya. Wajahnya seakan cemas.

“Kenapa tanya macam itu?” Aku kehairanan.

“Kenapa awak menangis?”

Segera tangannya naik menyentuh pipi. Baru aku perasan, ada cecair yang mula menuruni. Baru aku sedar yang pandanganku kabur. MasyaAllah.
Aku terus duduk bersila di tempat aku berdiri. Tidak kuhirau pasir pantai mengotori jeans. Dia turut sama duduk di sisi.

“Awak tahu, bila akhir waktu saya ingat bahawa saya normal?”
Dia diam. Seakan memberi ruang aku menjawab sendiri persoalan itu. Sebab dia semestinya tidak tahu.

“Ketika saya terkenangkan Abah bawa saya ke pantai ini, ambil angin dengan motor bujang dia.” Aku menjawab persoalanku tadi.
Bau pantai ini, anginnya, suasananya, semuanya membuatkan aku seperti mampu melihat semula dengan jelas suasana indah itu.

“Saat saya berhempas pulas mengharungi hidup yang penuh dugaan dan cabaran, menggalas idea-idea yang bombastik, hidup tidak seperti orang lain, rasa-rasa bahawa diri itu amat terasing daripada kebiasaan orang lain, saya akan teringat suasana di tempat ini ketika Abah bawa saya ke mari dengan motor.”

“Jadi, sekarang awak terubat bila saya bawa ke mari?” Dia bertanya.
Aku menggeleng. Dan senyuman mengoyak bibir. Aku memandang dia yang berada di sisi.

“Saya sudah terselamat dari keterasingan itu, dari kelemahan itu, semenjak awak ada dalam kehidupan saya.”
Ikhlas. Jujur.

Aku pernah menyangka bahawa aku tidak akan bahagia sebenar-benarnya. Aku pernah menyangka bahawa satu waktu aku akan tewas bila kehabisan tenaga. Membawa sesuatu yang besar, hendak merealisasikan sesuatu yang semua orang kata mustahil untuk direalitikan pada usia muda, melawan arus kebiasaan dunia, dalam keadaan tidak pula ramai yang menyokong, aku fikir aku akan kehausan dan jatuh tak bermaya. Tinggal aku hanya percaya, bahawa Allah tidak akan meninggalkanku. Itu sahaja yang aku ada. Percaya. Dan aku sebenarnya menghitung hari, bilakah percayaku itu akan hilang akhirnya.
Tetapi sampai satu saat, dia muncul.
Hadir.

“Kenalkan, ini anak saya.” Doktor Umar memperkenalkan gadis manis bertudung labuh di sisinya.

Aku terangkat kening. Kenapa pula dibawanya ke dinner ini? Aku bangkit mempersilakan mereka duduk. Menghormati. Doktor Umar adalah seorang doktor yang sering kujumpai apabila berhadapan dengan keserabutan hidupku. Aku adalah seorang yang amat menjaga diriku. Aku ada kerisauan bahawa aku akan menjadi gila sekiranya tidak betul-betul menjaga diriku dalam dugaan hidup yang menggila. Maka Doktor Umar adalah yang akan sentiasa memberikan nasihat, selain memeriksa kesihatanku.

“Kahwinlah dengan dia.”

Aku macam hendak tersembur air yang sedang kuhirup apabila mendengar kata-kata Doktor Umar. Serius?

“Ubat untuk orang macam enta ni, kahwin. Tambahan, ana pun tengah cari seseorang untuk jadi suami anak ana ni. Umur muda lagi, tapi duk sibuk suruh ayah dia carikan seseorang. Nak kahwin awal.”

Aku memandang perempuan di sisi Doktor Umar. Nama pun aku tak kenal. Kahwin?
Perempuan itu menunduk sahaja.

“Ana bukan nak promosi anak ana. Tapi ana rasa, dia harus ada di sisi enta. Untuk diri dia, dan untuk diri enta juga.” Doktor Umar tersenyum. “Enta pun tahu, ana kenal enta macam ayah enta kenal enta juga. Ana ayah enta juga kan?”
Aku tersengih. Benar. Doktor Umar sangat baik denganku. Perlahan-lahan aku memandang perempuan itu semula.

Hei, cakaplah something. Er.. takkan nak cakap camtu kut? Aku mati bicara.

Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya. Aku memandang betul-betul.

“Kahwinlah dengan saya. Saya usaha buat awak bahagia, dan moga-moga Allah jadikan saya peringan beban kehidupan awak juga.” Bicaranya malu, tetapi ada keyakinan di dalam dirinya. “Ayah kenal awak dan selalu cerita fasal awak. Saya yakin, pilihan ayah tepat, insyaAllah.”

Mataku membesar.

MasyaAllah.

Allahuakbar!

Dan ekspresi wajahnya ketika itu, sampai bila-bila tidak akan mampu kulupakan.

Dan lebih tidak mampu kulupakan adalah, perasaan hatiku ketika itu.

“Kau harus ada di sisiku.”

Ketika itu jugalah segalanya seakan menjadi semakin ringan. Hatta makan juga bahagia. Bersembang juga bahagia. Segala-galanya bahagia. Hati sentiasa lapang. Jiwa sentiasa senang. Bahkan segala kesusahan dan kesukaran, semuanya seperti kapas yang berterbangan.

“Bila saya bangun pagi dan awak ada di sisi, saya ada perasaan yang tidak dapat digambarkan. Saya masih ingat hari-hari saya berhempas pulas mendisiplinkan diri agar menjaga Subuh dalam keadaan rakan-rakan serumah tidak berapa peduli. Awak di sisi membuatkan saya rasa selamat.”

Dia menunduk. Wajahnya mula memerah.

“Begitulah juga bila kita makan bersama, bila kita baca Al-Quran bersama, bila kita solat bersama, bila kita qiam bersama, bila kita pergi program-program bersama, saya rasa macam lebih sempurna, lebih kuat, lebih bertenaga. Saya tidak dapat gambarkan perasaan-perasaan pada semua keadaan itu. Awak seakan-akan saya punya guardian angel. Buat saya lebih bersemangat untuk tingkatkan diri, dan rasa tidak letih untuk berusaha lagi. Entahlah.

” Aku meluahkan perasaan sebenarku.
Dia kembali menatap wajahku. Mata kami bertemu.

“Apatah lagi saat-saat yang saya sepatutnya tertekan dengan lambakan kerja, waktu-waktu saya tersekat daripada idea, dan awak ada di sisi, seakan-akan Allah memudahkan segala-gala. Saya macam terselamat.”

“Awak ni, lebih-lebih sangat gula ni.” Dia menyentuh kembali pipiku.

Aku memegang tangannya itu. Kemudian menggeleng perlahan.

“Sebab itu, saya sentiasa tersenyum.”

“Oh, itu jawapannya?”

Aku mengukir senyuman semanis mungkin.

“Sebab awak memang harus ada dalam kehidupan saya. Awak adalah kepingan yang menyempurnakan ‘puzzle’ kehidupan saya, yang selama ini saya tidak punya. Awak harus ada di sisi saya, berada di sebelah saya. Allah menjawab doa saya selama ini, dengan wujudnya awak di sini.”

Dia diam. Bunyi ombak mengisi suasana.

Sorry, speechless.” Dan akhirnya dia yang memecahkannya selepas beberapa ketika.
Aku tersenyum sahaja. Kemudian melepaskan pandangan ke horizon. Menikmati suasana.

By the way awak, saya ada sampaikan hadiah untuk awak sebenarnya.” Dia menyambung kata.

Aku memandangnya semula. Hadiah?

“Awak sahaja sudah cukup untuk saya. Apa perlunya hadiah? Awak hadiah terbesar Allah buat saya. Susah-susah sahaja.”

“Em, saya rasa, Allah just nak bagi awak hadiah berganda kut. Sebab hadiah yang ni pun bukan hak milik saya sebenarnya. Saya kan kata saya nak sampaikan sahaja.”

Aku mengerutkan dahi. Hadiah apa? Macam berbelit-belit pula penerangannya.

“Hadiah apa tu?”

Dia tersenyum. Perlahan-lahan tangannya membawa tanganku menyentuh perutnya.

“Saya mengandung, dua bulan.”
Mataku membesar.

“Mungkin Allah nak awak lebih bahagia dari bahagia yang awak dah rasa dengan kehadiran saya?” Dia angkat kening dua kali.

Aku segera merebahkan diri dalam posisi sujud kepada Allah SWT.
Menangis syukur.

Daripada dia, datang lagi hadiah daripadaNya.

MasyaAllah, MasyaAllah, MasyaAllah.

Ya Allah, bagaimanakah hambaMu ini mampu mendustakan nikmat-nikmatMu?
Sungguh kalau dihitung semua, tidak terkira harganya.

MasyaAllah.

******
Aku tidak pernah berada di syurga. Tetapi aku berada di dunia penuh pancaroba. Sedangkan Adam yang berada di tempat terindah ciptaan Tuhan memerlukan Hawwa, apatah lagi aku yang di tengah cabaran dunia yang menggila.

Aku tidak pernah berada di syurga. Tetapi aku berada di dunia yang penuh dengan duga. Sedangkan Adam juga gembira dan rasa sempurna tatkala Allah hadirkan untuknya Hawwa, apatah aku yang selama ini sendirian di tengah badai dunia.

Dia nyata harus ada di sisi. Kerna aku memerlukannya untuk menyempurnakan diri ini. Menemani. Buat aku terisi. Menguatkan aku.
Dan bersamaku bergerak ke arah Ilahi.